nuffnang ads

Thursday, 17 December 2020

Perjalanan Homeschool: Kenapa Waldorf


Pertama kali mengadopsi prinsip homeschool ada lah ketika aku bersiap-siap untuk bekerja kembali setelah dua tahun duduk dirumah, dan kami mengunjungi sebuah playschool yg kami suka.

And OMG, disana aku sangat terkejut dengan harganya.


Setelah dihitung-hitung yang ternyata gaji aku nggak akan cukup untuk mbayar playschool dia. Kami pun berdiskusi, apakah perlu seorang ibu ini berpisah dari anaknya seharian untuk bekerja, yang pada akhirnya hasil kerja beliau pun tidak cukup untuk menutup yang telah kami korbankan.Tombok iya, Ya bayar sekolah, ya bayar bus jemputan, ya bayar day care after school.

"Kenapa nggak pakai gaji bapak? 

Well, thats not the point of the conversation ;-p

Akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengambil job offer itu, dan kembali duduk dirumah bersama Marcella yang waktu itu genap berusia 2 tahun.

Tapi karena mindset ku sudah jatuh cinta dengan suasana playschool yang kami kunjungi, aku pun mulai mencari-cari..
Dari pada kami membayar sebegitu besar untuk mengirim anak bermain, bagaimana jika kami bermain dirumah saja...?

Apa yang perlu kami persiapkan agar mutu bermain anak kami setara dengan mutu bermain di sekolah-sekolah impianku.


Research pun dimulai.. (Dari Google aja btw...) Pada awalnya kami memakai prinsip "Montessori at home" ada begitu banyak ide kegiatan untuk bermontessori dirumah sesuai dengan usia Marcella. Disitu aku mulai mencatat, membuat list bahan dan alat peraga yang dieprlukan, merencanakan dan menjadwal apa-apa saja yang akan kami lakukan di setiap harinya.

Tapi karena belum menemukan sumber belajar yang relevan, perjalanan homeschool kami pun menjadi keliru.

Dari yang seharusnya process based journey, kita justru focus on the result. Bertumpu pada hasil..
Kenapa anak aku nggak sebagus anak dia, kenapa ini nggak cakep, kenapa belum bisa begini,kenapakenapa nggak bisa begitu.. . .  Arrrrrggg!!!!!!

Anak menjadi frustasi, ibu juga frustasi..
Berantem dan bersitegang setiap kali akan memulai aktivitas :( akupun berkata pada diri sendiri..
"Sudahlah... Tahun depan kamu sekolah. Homeschool is just not for us..! I don't have the patience to grow up with you. I'm going back to work..!"


Then We took a break..!
Kemudian entah bagaimana saya menemukan Istilah "waldorf".

Waldorf kurang begitu terkenal dibandingkan Montessori. Di Malaysia, sepanjang hidup aku pun belum pernah melihat sekolah dengan label WALDORF terpampang di plakat nya. Jadi, apa istimewanya Waldorf?

Setelah membaca beberapa artikel online, baru kami tahu ternyata prinsip dan ideology pembelajaran untuk usia dini Waldorf sangat simpel. Begitu simpel nya sampai aku nggak percaya, is it really do the job??!? Terlalu simpel untuk sebuah school gitu lho..

Tapi emang bener sih, setelah buaaanyaaakkk membaca baru aku faham bahwa Steiner memang sengaja membuat sebuah proses pembelajaran yang bersifat simpel, santai dan relax..

Setelah merasa yakin untuk mencoba, I said to myself..
This is my kind of school..!!! *cling.. *cling..

Menurut pemahaman aku, dalam pembelajaran usia Dini (Early Childhood Education), Waldorf lebih bertumpu kepada jiwa anak dibanding kecerdasan akademik. Yang metodenya sangat simpel.

1. Masa kanak-kanak bukanlah perlombaan.
2. Jadilah orang tua yang suka bercerita (story teller)
3. Mendekat dengan alam setiap hari.
4. Ajarkan anak untuk bermain.
5. Buatlah sebuah rutinitas dan Ritme dalam keseharian.
6. Luangkan waktu untuk membuat Art & craft

Simpel bukan? Nggak ada early literacy, pre writing, pre-mathematic, printable ini, printable itu, hafalan surat pendek, asma'ul husna, atau hafalan doa juga nggak ada :-)


Semua bahan homeschool yang kami print dari internet, akhirnya kami masukkan ke dalam kardus di gudang. Yang kemudian keseharian kami berubah kepada bermain di taman, mencari ikan diselokan, memungut daun, ranting kering dan bunga yang berjatuhan di jalan, dan mengobrol.

Ya, mengobrol...
Dimana saya akan menghentikan apapun kegiatan yang sedang saya lakukan, meletakkan apapun barang yang ada di tangan. Untuk berbicara, mendengarkan dan menjawab dengan sepenuh hati.


Ketika usia Marcella menginjak 3.5 tahun, ada sekolah waldorf dibuka di kuala lumpur.  Namanya KL Steiner School. We are all excited to enter..!

Semua berbondong untuk pergi kesana, tapi sayang KL Steiner pada masa itu hanya di mengambil anak usia 5tahun keatas (TK & SD), yang ternyata harga sekolahnya jauuuuuuuuuh lebih mahal dibanding sekolah sekolah yang selama ini sudah kami cap sebagai sekolah mahal.

*ngik....
Kembali sekolah dirumah dulu ya nak.. :-)
Dari situ kami kembali mencari dan me-research kegiatan dan prinsip tentang Waldorf at home.
Yang kemudian prinsip tersebut yang menjadi panduan sehari-hari kami (setelah rukun iman dan rukun islam tentunya :-)

^_^

Wednesday, 16 December 2020

Early Year Education at Home

Pendek kata, homeschooling lah ya :-) 

Early years childhood education (EYCE)

Jadi kemarin ada diskusi dengan beberapa teman yang memiliki anak seumuran Marcella.

Mereka memuji karena Marcella sangat advance dibanding anak-anak seumuran di Indonesia.

Pendidikan luar negeri memang maju ya, anak seumuran cella bisa sangat advance.

Sambil mengucapkan terimakasih, saya masih tidak faham advance yang bagaimana menurut mereka. Secara Marcella juga belum kuajarin membaca, nulis juga atas kehendak dan sesuka dia, berhitung apalagi.. Nomer aja nggak hafal angka berapa.

"Entah ya, tapi.. Beda aja dengan anak-anak disini.  Pendidikan luar negeri memang beda ya sama pendidikan disini"
Ini komentar temen yang lain.


Disini aku sambil share dengan teman-teman yang lain, untuk meluruskan image sekolah mahal dan luar negeri. Sebenarnya bukan pendidikan luar negeri yang membuat anakku "hebat" Justru anakku dilahirkan dan digedein oleh aku (si orang kampung) haha...

Sebenarnya lebih ke mindset dan kesiapan seseorang untuk menjadi parent. Siap itu ya mental, ya ilmu, ya knowledge, ya support, ya iman, ya taqwa, ya semuanya aaaa *hihi...

Yang kedua, keinginan orang tua untuk mencari dan menambah ilmu tentang parenting (jadi sebenarnya bukan metode homeschool-nya, tapi metode parenting-nya lah yang membuat seorang anak kelihatan berbeda).

Yang ketiga, ini yang paling penting menurut saya. Menjadi model yang baik kepada anak. Anak kecil lebih kepada mencontoh langsung perilaku dan cara berfikir orang tuanya ketimbang mendengarkan nasehat.



Semoga share-knowledge ini bisa membesarkan hati teman-teman bahwa memiliki anak yang calm, confindent, resilient dan ber-attitude baik, tidak melulu bergantung kepada sekolah mahal yang tidak semua mampu untuk menjangkaunya. Tetapi emmotionally intelligence pada anak justru bisa kita ciptakan tanpa biaya. Yaitu dari rumah dan bersumber dari kita sebagai orang tua :-) 

Wednesday, 9 December 2020

Langkawi Christmas Holiday 2016: Part 1, Labu-Labi Beach Resort





Brunch at Cactus restaurant, always been my favorite place to eat in Langkawi. 



Our resort at Tanjung Rhu, langkawi. 
Huuuuuuugeeeeee....!!! And beach front. 


Two queen size bed and plenty place to running around. 



Little munchkin relaxing







Thanks darling










A good night sleep, now Mama can roam around. 









I knew she born to be swimming on the beach..! 







My fave junkfood from the road stall. 




Now you know why I loooooooveeeee Malaysia so much..! 

Langkawi Christmas Holiday, 2016

Found this in the draft. 
Now I wonder why I didn't even published this. 
Not even posted on my Instagram. 


For so many times we went to Langkawi,  I always win myself to say NO to crocodile farm.  But since this was request by my SIL, I can't escape. We have to enter this scary place. 







i don't even able to get close to the fence


She looks nervous too doesn't she? 
Me Too!!!! 


I got super nervous with this huge animal. 
I thought they were quiet. But they make such a noise like tiger... Maaaaakk!!!! 

ok, this one fake.. You save! 




Lunch at harbour. 
I love this place all the time..! 






My yummy cheesy gooey parpadelle.. 


Our Yacht..!