nuffnang ads

Monday, 20 July 2015

Cerita Tentang Telur Asin


Whenever I had salted egg on my table,
I remember my about my mom


Telur asin dan keluarga kami sangat erat hubungannya.
Dua puluh tahun yang lalu, ketika itu saya masih kuliah di IPB Bogor.
Kami sekeluarga memang "miskin" semiskin-miskinnya… Karena Ayah adalah satu-satunya penopang keuangan keluarga, dan kami berempat masih Kuliah. Dan kami tidak memiliki sebidang sawah atau penghasilan sampingan lain.

Jadi, gaji ayah yang memang secuprit itu harus dibagi ber-tujuh. Belum lagi ponakan-ponakan ibu yang ikut di rumah kami menambah ramainya suasana krisis moneter.

Waktu itu aku bertanya pada ibu kalau ingin punya bebek untuk di-jar di belakang rumah sebagai recycle centre untuk membersihkan sisa nasi dan sayur. Secara ayam zaman sekarang sangat pemilih (milih konsentrat dan dedak, dibanding nasi)

Dan bebek cukup rajin memberi telur yang besar, dibanding ayam kampung yang males bertelur dan ukuran telurnya kecil.

Kami membeli bebek dari tetangga (yang dua diantaranya, diberi bebek afkir/tua/reject) JAHAT MEMANG….!!!!!

Dari lima ekor bebek di belakang rumah, yang bertelur 3-4 butir setiap hari. Ibu sudah berhenti membeli telur ayam di tukang sayur. Kadang-kadang telur itu malah tersisa banyak, dan tidak termakan.
Tetangga yang memiliki anak kecil suka datang ke ibu untuk membeli telur itik setelah tahu kalau itik kami hanya makan sisa nasi, sayur dan dedak. Bukan konsentrat buatan pabrik (anak kecil tidak dianjurkan makan telur dari ayam petelur, karena gizinya kurang)



Melihat peluang bisnis, ibu menambah modal menjadi 15 ekor itik, dan membeli itik siap telur dari penjual lain yang jujur. Telur bukan hanya di jual segar, tetapi juga di asinkan untuk di jual di supermarket.

Saya tidak banyak merasakan suka-duka membuat, mengasin, menjual telur itik karena saya jauh di Bogor untuk Kuliah dan Pacaran.
Kedua adik saya pun hanya menjadi tukang gosok dan stempel telur yang sudah direbus.

Sedangkan: membersihkan kandang, memberi makan, memungut telur, mencuci telur, menumbuk abu, mencampur garam, memeram telur, membuka peraman telur, mencuci, menggosok, merebus dan mengantar telur ke customer semua dilakukan oleh ibu sendiri.
(Kalau ingat, kadang saya menyesal. Most of my long semester break I spend to vacation all over Indonesia, while my mother slaves herself daily to make extra money)





Begitu dalamnya rasa bersalah saya kepada Ibu, Saya memang tidak ingin (dan nggak doyan) makan telur asin beli di toko. Dengan alasan, why do I have to make them rich by buying their salted egg while  I didn't event help my mother while she struggle make it.

=> Sebenarnya bukan telur asin saja yang saya boikot dari mulut. Ketika keluar dari rumah, saya sama sekali menolak untuk membeli buah mangga. Dengan alasan, kami di rumah ada 20 pohon mangga, dan kami memberikan gratis buahnya kepada yang menginginkan. Kenapa aku harus membayar untuk sebutir mangga.

Doesn't matter how much I crave for Mango and salted egg, I would refuse to buy or pay.
BEGO YA…? lol. I don't know

Perilaku "Nasionalistik" seperti ini bertahan sampai hampir 20 tahun.  Dan baru kemarin saya membeli telur asin dan mangga muda karena sangat craving dan rindu dengan telur asin buatan ibu saya. Rasa nasionalistik pun sedikit berkurang karena Ibu sudah lama beralih ke sawah padi untuk penghasilan sampingan. Pohon mangga kami juga sudah banyak yang ditebang untuk membesarkan rumah.







3 comments:

Ade Truna said...

Sekali membaca langsung merasakan kisah perjuangan seorang ibu dalam mencari uang tambahan sebagai produsen telur... Sad but true ..

Mama The Explorer said...

Dulu nggak merasa bersalah mas Ade, kalau bisa minta duit.. minta lagi, minta lagi dan minta lagi. Setelah pisah dari keluarga, baru menyesal dan suka sedih sendiri kalau ingat kelakuan zaman dulu

just tama said...

Mau telur asin sama mangganya dong :) pengen main ke semarang deh trus main ke tempat diyan hehehe